Nusa One -

Kota Banda Aceh dengan Kawasan Tanpa Rokoknya: Sudah Efektifkah?

Kota Banda Aceh dengan Kawasan Tanpa Rokoknya: Sudah Efektifkah?
  Nusa One
Penulis
|
Editor

Anita Maisuri, Mahasiswa Program Magister FKM Institute Kesehatan Deli Husada, Deli Tua Sumatera Utara, Medan.

Tulisan ini berupaya memberikan analisis terhadap kebijakan pemerintah dibidang Kesehatan Masyarakat khususnya mengenai penerapan kebijakan atau peraturan pemerintah mengenai Kawasan Tanpa Rokok.

Dalam konteks ini sebenarnya Pemerintah Kota Banda Aceh telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Kota atau disebut dengan Qanun Kota Banda Aceh Nomor 5 Tahun 2016 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Qanun Aceh Nomor 4 tahun 2020 tentang Kawasan Tanpa Rokok yang merupakan tindak lanjut dari peraturan bersama Menteri kesehatan RI Nomor 188/ Menkes/PB/1/2011 dan Menteri dalam Negeri RI Nomor 7 tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok.

Adapun tempat yang dilarang merokok yang diatur dalam Qanun tersebut meliputi: perkantoran pemerintahan, perkantoran swasta, tempat ibadah, tempat kerja yang tertutup, sarana olah raga yang sifatnya tertutup, halte, angkutan umum dan tempat umum yang tertutup lainnya.

Sedangkan di tempat sarana pelayanan kesehatan, sarana pendidikan formal dan informal, arena permainan anak, tempat pengisian bahan bakar (SPBU) ditetapkan sebagai kawasan yang bebas dari asap rokok hingga batas pagar terluar.

 

Qanun Kota Banda Aceh Nomor 5 Tahun 2016 tentang Kawasan Tanpa Rokok, penetapan KTR berasaskan pada manfaat, perlindungan, partisipasi masyarakat dan penghormatan terhadap hak manusia untuk hidup sehat.

Setiap orang dilarang merokok, mempromosikan, menjual dan mengiklankan Rokok di Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan jika melanggar maka dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) hari dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000, (dua ratus ribu rupiah).

Sedangkan bagi penjual rokok di tempat atau area yang dinyatakan sebagai KTR dipidana kurungan paling lama 5 (lima) hari dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000, (lima ratus ribu rupiah).

Hal serupa juga berlaku bagi badan usaha yang mempromosikan dan mengiklankan rokok di tempat atau area yang dinyatakan sebagai KTR yaitu dengan pidana kurungan paling lama 14 (empat belas) hari dan/atau denda paling banyak Rp.10.000.000,(sepuluh juta rupiah).

Bagi badan usaha yang memperjualbelikan rokok di tempat atau area yang dinyatakan sebagai KTR dapat pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) hari dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,(lima juta rupiah). Tentunya sanksi pidana diberikan setelah dilakukan teguran lisan dan peringatan serta pembinaan.

Tanda kawasan tanpa rokok akan dilebel dan kewajiban memberi lebel tersebut menjadi tanggungjawab pimpinan lembaga dan pimpinan badan usaha. Setelah lebel tertempel maka semua orang dilarang melepaskan, menutupi, menyembunyikan, membuang dan/atau merusak tanda larangan merokok.

Secara umum merokok sudah hampir menjadi budaya didalam masyarakat Aceh, bahkan di daerah tertentu untuk mengundang pada acara perkawinan, rokok digunakan sebagai media untuk membuka pembicaraan.Bahkan dalam tutur masyarakat, sering juga istilah uang rokok.

Hal ini bermakna bahwa rokok sudah menjadi kebutuhan luar biasa di tengah masyarakat Aceh khusunya. “Hana pah meunyoe lheuh bu hana keunong rukok” red tidak enak kalau selesai makan tidak merokok. Itulah beberapa tutur lisan masyarakat kita terkait rokok.

Qanun 4 sendiri membuka ruang partisipasi masyarakat menjadi satu keharusan dimana ruang berupa peran aktif masyarakat dalam bentuk: penyebarluasan informasi KTR, pelibatan diri dalam pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan KTR, penyampaian informasi dampak merokok bagi masyarakat, saling mengingatkan untuk tidak merokok di KTR, penyampaian informasi kepada penanggungjawab KTR tentang adanya penyalahgunaan KTR dan penyampaian informasi kepada Pemerintah Kota tentang adanya penyalahgunaan KTR.

Sedangkan dari sisi pengawasan dan pembinaan dilakukan oleh pemerintah kepada Pimpinan dan/atau penanggungjawab KTR dalam bentuk kegiatan bimbingan dan/atau penyuluhan, kemudahan fasilitas pendukung untuk KTR dan menyiapkan petunjuk teknis.

Lain halnya bagi Pimpinan SKPD atau penanggungjawab KTR wajib melakukan pembinaan pada Instansinya atau KTR yang berada di bawah tanggungjawabnya, yang dilakukan dalam bentuk meminta tidak merokok bagi karyawannya selama berdinas dan melakukan bimbingan/ penyuluhan.

Terhadap Pimpinan SKPD Kota Banda Aceh yang tidak melaksanakan kewajiban dapat dikenakan sanksi berupa teguran lisan, peringatan tertulis, penundaan kenaikan pangkat, non-aktif dari jabatan dan sanksi administrasi lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara itu terhadap badan usaha yang tidak melaksanakan kewajiban sesuai dengan tanggungjawabnya dapat dikenakan peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan dan pencabutan izin.

Semua sanksi tersebut termuat dalam Qanun Kota banda Aceh Nomor 5 tahun 2016 dan Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2020 tentang Kawasan Tanpa Rokok.

Untuk melakukan penindakan kewenangannya di berikan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan pemerintah Aceh dan Pemerintah Kota Banda Aceh yang masing-masing diatur dalam Qanun tersendiri.

 

Adapun kewenangan yang diberikan meliputi: menerima laporan atau pengaduan dari seseorang mengenai adanya tindak pidana atas pelanggaran Qanun ini, melakukan tindakan pertama dan pemeriksaan di tempat kejadian, menyuruh berhenti seseorang dan memeriksa tanda pengenal diri, melakukan penyitaan benda atau surat, mengambil sidik jari dan memotret, memanggil, mendatangkan ahli Dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.

Selama ini The Aceh Institute terus mengadvokasi kawasan tanpa rokok di seluruh Aceh.

Dari hasil advokasi tersebut, semua pemerintah daerah 23 kabupaten kota di Provinsi Aceh sudah memiliki qanun kawasan tanpa rokok. Kendati seluruh daerah sudah memiliki qanun atau regulasi, tetapi keberadaan kawasan tanpa tokok belum optimal. Keberadaan kawasan tanpa rokok sepertinya hanya sebatas pajangan. Selain itu, tantangan penerapan kawasan tanpa rokok juga datang dari masyarakat. Masyarakat mengetahui kawasan tanpa rokok tersebut, tetapi tidak menindaklanjutinya dengan tidak merokok.

Sehingga timbulnya pertanyaan, sudah efektifkah penerapan qanun Kawasan Tanpa Rokok di Kota Banda Aceh? Tentu saja hal ini dapat dijadikan sebagai evaluasi tentang bagaimana penerapan Qanun Kota Banda Aceh Nomor 5 Tahun 2016 tentang Kawasan Tanpa Rokok tersebut.

Sejauh yang kita ketahui bahwa qanun ini belum berjalan efektif dikarena beberapa hal diantaranya masih lemahnya penindakan atau penegakan hukum bagi pelangar (perokok) yang Sebagian besar masih melakukan kegiatan merokoknya di tempat-tempat umum atau Kawasan Tanpa Rokok itu sendiri.

Untuk itu melalui rubrik ini penulis mengajak para pengambil kebijakan (stakeholders) untuk dapat melakukan penindakan atau penegakan hukum terhadap para pelaku pelanggaran Qanun Nomor 5 Tahun 2016 Kota Banda Aceh tersebut.

Akhirnya kita berharap di masa yang akan datang bahwa Kawasan Tanpa Rokok di Kota Banda Aceh dapat benar-benar terwujud dan bebas dari asap rokok yang dapat mengganggu kesehatan masyarakat. Semoga.(**)

Bagikan:

Tinggalkan Komentar